Sabtu, 29 Juni 2013

Empat Wajah Sehan

Pengantar
Wajah Sehan adalah peran eksistensial yang dia mainkan dengan segala kelebihan dan kekurangannya sebetapapun peran itu masih bersifat potensial dalam arti belum dapat sepenuhnya dia lakoni. Wajah Sehan dalam bingkai dan maksud tulisan ini adalah juga tema bagi pembicaraan tentang Sehan dalam amatan penulis. Tema yang daya tariknya terdapat dalam keterbukaannya untuk dieksplorasi demi lahirnya pengertian yang mendalam, bukan hanya tentang Sehan tapi juga tentang kaitan antara seorang manusia sebagai individu dengan peran (dalam wajah-wajah) yang telah, sedang dan akan dia lakoni.
Secara psikologis, wajah dan perannya adalah juga kepribadian; personae sebagai topeng. Ini berarti juga berbicara tentang sebuah lubuk dalam jiwa (karakter mental) seorang individu. Sehan adalah subyek sebagai aktor di atas panggung tulisan ini. Lepas dari berbagai proses eksistensialnya sebagai individu, sang aktor adalah juga cermin dari setiap individu lainnya. Dengan berbagai model representasi, wajah dapat mewakili satu titik kecil dari universalitas manusia dan, utamanya, gairah kita pada perbincangan tentang manusia.
Terakhir namun tak kurang penting, keempat wajah Sehan adalah bagian representatif dari apa yang disebut keunikan individual. Ejawantah pembuktian dari kebenaran memahami manusia sebagai yang pada awal dan akhirnya adalah individu dengan segala keunikannya. Ketika kita mencoba memahami seseorang dalam wajah-wajah yang dia perankan, kita akan menemukan sebuah persona dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Tulisan ini memuat kedua sisi lebih dan kurang tersebut dalam dua bagian tulisan: Bagian pertama, Empat Wajah Sehan yang terdiri dari empat tulisan dan bagian kedua Empat Kekurangan Wajah Sehan yang juga terdiri dari empat tulisan yang akan dimuat pada kali berikutnya.
Wajah Pertama: Seorang Politisi
Sebagai politisi, Sehan memiliki lebih dari kemampuan untuk mengukur diri terhadap batas ontologis politik. Sehan adalah figur politisi yang cair dalam kemampuannya merembesi batas terluar politik. Manakala kebanyakan politisi Bolaang Mongondow dan kemudian Gorontalo serta Sulawesi Utara (tiga wilayah utama Sehan) berupaya untuk berdiam dalam batas kaku politik, Sehan menerjemahkan langkah politiknya dalam wacana yang begitu cair yang, karenanya, selalu keluar dari batas analisa politik.

Politik pada Sehan adalah sebuah lapangan permainan. Contohnya, yang seru baginya bukanlah jabatan sebagai bupati tetapi pertaruhan untuk menjadi seorang bupati. Dalam wajah politisinya, jabatan bupati seorang Sehan Landjar adalah permainan politik dalam negosiasi antara gagasan, kebijakan dan batas-batas administratif tindakan yang harus dia pertanggungjawabkan sebagai pejabat publik. Itulah kenapa dalam kapasitasnya sebagai bupati, Sehan terlihat cemas bukan pada hasil akhir kebijakan tapi pada proses pembangunan itu sendiri. Dan dia menjalani proses itu dengan pendekatan yang lebih bersifat politik daripada birokratis. Pendekatan yang terbebankan secara soliter.
Problem yang muncul adalah manakala Sehan berani untuk mengambil beban politik itu sendirian, para bawahan birokratnya tidak kunjung menemukan cara untuk menerjemahkan beban itu menjadi kebijakan pembangunan yang dapat melepaskan opini politik dari visi sang bupati. Itulah kenapa Bolaang Mongondow Timur mudah menjadi lahan sengketa analitis yang meledak di halaman koran dan media komunikasi publik lainnya. Sengketa ini tampak menjadi semakin ruwet oleh tuntutan-tuntutan masyarakat berkaitan dengan berbagai masalah pembangunan di wilayah itu. Sengketa yang kehilangan baik prioritas maupun jargon.
Dan sengketa itu mengalir sebagai sebuah proses hanya dalam rangkaian ketat yang dikampayekan Sehan dalam sekira tiga tahun pemerintahannya hingga saat ini. Apa yang telah diberikan Sehan selama rangkaian waktu itu bukan hanya jalan, bangunan atau PAD tapi juga sebuah pandangan ke depan yang berpotensi meroketkan daerah pemerintahannya menuju puncak-puncak identitas masyarakat Bolaang Mongondow Timur sebagai sebuah masyarakat politik yang utuh. Akan tetapi, langkah ini mungkin yang paling kurang terbaca oleh kebanyakan orang dari jejak politik seorang Sehan Salim Landjar.
Dalam sebuah model politik yang bingkai besarnya tampak paling jelas lewat pembacaan kembali langkah Soekarno, minus ideologi-politik, Sehan menjejaki langkahnya dengan potensialitas sekaligus resiko tersendiri. Dalam model ini, Sehan selalu berpotensi menciptakan lawan dari luar maupun dalam sambil terus memperkuat dukungan masyarakat banyak terhadap dirinya. Intuisi politik Sehan telah mengingatkannya bahwa pertaruhan yang harus diambilnya adalah permainan antara amanat historis sebuah wilayah politik yang baru (bandingkan dengan Soekarno dan bayi RI) dengan harapan membentuk masa depan (bandingkan dengan Soekarno dan nation building). Ada yang menjadi prioritas, sedemikian hingga ada yang harus diabaikan. Dan apa yang terabai dapat pula berarti mereka yang terabaikan. Maka seperti Soekarno juga, Sehan pun menemukan lawan dari ruang gagasannya sendiri.
Tapi jika politik – setidaknya bagi Sehan – adalah lapangan pertandingan, maka dia memang membutuhkan lawan untuk menyempurnakan permainan. Persoalannya tinggal terletak pada aturan main. Di Boltim khususnya, dan Bolmong Raya pada umumnya, aturan main itu tampaknya sedang dibuat. Sayang media, dengan segala kepentingannya sendiri tidak bersegera membantu memperjelas aturan main ini. Dan seperti Indonesia di awal berdirinya di mana Soekarno muncul sebagai yang hanya satu, begitu jugalah yang terjadi dengan Boltim saat ini (bahkan bisa jadi juga Bolmong Raya). Sehan tampaknya berdiri sendiri dengan lawan-lawan politik yang tampak ragu di tengah arena bermain yang kehilangan aturan.
Tapi bisa jadi juga, ini bukan semata persoalan arena bermain atau aturan main, tetapi juga persoalan klasik dari sebuah wilayah politik baru; Sehan memang belum menemukan lawan politik yang sepadan.
Wajah Kedua: Seorang Motivator
Jika Anda belum mengenal Sehan dalam jabatannya sebagai bupati dan belum mengikuti biografinya sebagai politisi kemudian bertemu dengannya di sebuah warung kopi. Bisa dipastikan bahwa Anda akan menangkap wajah Sehan yang satu ini; wajah seorang motivator. Dengan kemampuan berbicara yang sepadan antara daya tahannya dengan kemampuannya memengaruhi, Sehan sulit dipandang lebih dari seorang motivator. Sedikit lebih dari Mario Teguh, Sehan bisa meneruskan apa yang semula hanya merupakan motivasi menjadi sebuah agitasi dan/atau provokasi.
Daya tahan Sehan berbicara bertimbal balik dengan kemampuannya membangkitkan minat orang untuk mendengar apa yang dia bicarakan. Dalam hal ini, kemampuannya tak hanya semata retoris tapi juga teatrikal. Sehan tak hanya mampu berpidato dengan tangan yang bergerak-gerak tapi juga bicara dengan teknik pemunculan, laku tubuh, mimik, dan penguasaan “panggung” yang bernilai seni peran. Melihat bagaimana tangannya menggenggam dan matanya menyorot tajam sama penting dengan mendengar apa yang dia bicarakan, untuk bisa menangkap keseluruhan gagasan yang dia lemparkan. Tapi untuk melakukan semua itu, Anda tidak membutuhkan konsentrasi yang ketat karena Sehan akan memberikan itu pada Anda dalam pukau pertunjukannya.
Dalam berbicara, Sehan tidak memilih kata-kata dari ruang memorinya tapi cenderung menghadirkan suasana penceritaan bagi dirinya sendiri dan meluncurkan gagasan dari apa yang akan dia bicarakan nyaris secara otomatis. Itulah kenapa Sehan bisa menceritakan hal yang sama berulang-ulang tanpa kehilangan daya pikatnya bahkan bagi mereka yang telah mendengar pembicaraan itu sebelumnya. Kisah yang berulang dia ceritakan, misalnya, menjadi terus menerus segar untuk kita dengarkan seperti sebuah cerita yang baru karena selalu diucapkan kembali dengan spontanitas yang sama seperti cerita itu pertama dia tuturkan. Itu yang pertama.
Selanjutnya, Sehan jarang, jika tidak bisa dibilang tidak pernah, membicarakan sesuatu tanpa menyisipkan makna dari apa yang dia gagas lewat pembicaraan itu. Ini memiliki dua arti. Pertama, dia selalu berbicara untuk memberi motivasi atau, setidaknya, menawarkan gagasan. Kedua, dia kerap bicara dengan argumentasi yang tersusun di situ dan saat itu juga meskipun kerangka besarnya mungkin sudah ada dalam pikirannya sejak awal. Dalam arti pertama, kita menemukan “bawaan lahir” dari seorang motivator. Kegemarannya berbicara tidak didorong oleh kebutuhan untuk membuat kompensasi terhadap apa yang tidak bisa dia kerjakan tapi lebih sebagai dorongan kebutuhan eksistensial yang nyaris tak terbatas terhadap podium dan, karenanya juga, orang lain. Sehan membutuhkan pendengar dan tampak kurang sabar dengan perdebatan. Di luar itu, Sehan tidak berbicara apa yang tidak dia kerjakan.
Mengenai kemampuan bicara dengan argumentasi yang tersusun di situ dan saat itu juga, kita akan menemukan Sehan sebagai seorang pembicara yang cerdas. Argumentasi Sehan tidak seluruhnya bersifat ketat dalam sebuah rangkaian logika yang sepenuhnya valid, namun lebih banyak ditujukan bagi keharusan untuk memperhitungkan kemungkinan dari subyek pembicaraan sebagai tema yang membutuhkan pertimbangan rasa dan nurani. Sehan lebih berargumentasi bagi perasaan kita dari pada pikiran kita. Ini wajar, mengingat Sehan lebih suka mengumpulkan gagasan lewat pengalaman daripada bacaan dan cenderung bergerak dengan naluri dan nurani daripada perhitungan dengan kepala dingin.
Hal ini tidak berarti Sehan tidak mampu berpikir dengan cerdas. Karena jika kecerdasan bisa bersifat intelektual di satu sisi dan emosional di sisi lainnya, maka Sehan lebih memiliki kecerdasan emosional dibandingkan kecerdasan intelektual. Ini sebanding dengan cara berpikir Sehan tapi itu adalah tema yang lain untuk tulisan yang lain pula. Di sini, cukuplah kita menjawab kenapa Anda yang sebelumnya tidak mengenal Sehan bisa dengan mudah menangkap wajahnya sebagai motivator dalam setengah jam pembicaraan dengannya di warung kopi. Kemampuan Sehan dalam memberi motivasi dicetak sebanding dengan Mario Teguh tapi dibentuk dari tungku api yang sama yang telah melahirkan seorang Soekarno. Ini menarik, tapi juga berbahaya.
Wajah Ketiga: Seorang Pemimpin
Menjadi seorang pemimpin barangkali merupakan takdir eksistensial Sehan yang paling tragis namun kentara. Tragis karena, seperti yang sering dia katakan sendiri, jika memimpin hanya berarti menjadi seseorang yang berjuang di garis depan, maka dia akan mensyukurinya. Tapi jika menjadi pemimpin berarti juga secara formal menjadi pejabat maka itu sungguh-sungguh bisa menjadi kutukan yang serius. Kenapa? Menjadi pejabat yang memimpin berarti menanggung resiko kehilangan kemakbulan doa. Karena, masih menurut Sehan, Tuhan kemungkinan besar tidak mendengar doa para pejabat karena sedang “sibuk” mengurus rakyat yang tidak diurus oleh pejabat bersangkutan. Menjadi pejabat bagi Sehan selalu dimuati oleh asumsi menjadi orang yang disbukkan oleh jabatannya.
Anekdot yang rada berbahaya ini dikemukakan Sehan untuk juga menjelaskan posisi yang berbeda dari seorang pejabat sebagai pemimpin dengan seorang pemimpin sebagai pejabat. Dan Sehan terus berupaya untuk menjadi pemimpin yang kebetulan sedang memegang jabatan. Inilah makna bahwa menjadi seorang pemimpin adalah takdir yang kentara dari Sehan. Ketika sedang berjuang untuk ikut serta dalam mengurus kampung halamannya yang baru saja ditetapkan sebagai sebuah kabupaten, Sehan sempat mengajukan diri sebagai wakil bupati dari salah seorang kandidat waktu itu. Namun takdir terlalu kentara mendorongnya untuk menjadi papan satu, pemimpin yang paling puncak. Singkatnya, sang kandidat melakukan kesalahan dengan menolak Sehan yang malah menjadi lawannya dalam pilkada tersebut dan mengalahkannya dengan telak.
Sehan menjadi bupati. Barulah kemudian ribuan pasang mata kita menyaksikan polah tingkah dan laku seorang pemimpin dari desa Togid. Menemukan apa yang sebelumnya tidak kita perhatikan; seseorang yang menjadikan jabatannya sebagai kesempatan untuk menjalankan sebuah model kepemimpinan. Pertama, yang khas adalah seorang lelaki pendek berkulit gelap dengan kaca mata, kumis tebal dan senyuman. Kedua, yang khas adalah seorang lelaki yang selalu bergerak cepat, menggenggam kendali dalam tapak tangannya terhadap begitu banyak orang lainnya namun sekaligus menjadi sahabat sesama mereka. Ketiga, yang khas adalah seorang lelaki yang setiap ucapannya adalah ABC yang menjelaskan bahwa jabatannya (sebagai bupati) adalah tanggungjawab lima tahunan sedangkan kepemimpinan adalah beban eksistensial seumur hidupnya.
Dan Sehan memang memimpin bukan hanya bawahannya dalam kabinet kabupaten Bolaang Mongondow Timur, yang kerap mengalami reshuffle, tapi juga banyak hati dan perhatian kita. Adalah Sehan Salim Landjar yang duduk di warung kopi Jarod, Kotamobagu, di antara para wartawan yang kerap dihindari oleh para pejabat. Dan kita menemukan bukan seorang bupati tapi seorang pemimpin. Adalah dia juga yang, bersama dengan berbagai kalangan masyarakat di seluruh kawasan Bolaang Mongondow Raya, menggerakkan apa yang boleh kita namakan sebagai perjuangan revolusioner pembentukan Provinsi Bolaang Mongondow Raya. Dan kita menemukan bukan seorang bupati Boltim tapi seorang pemimpin Bolmong. Adalah Sehan pula yang berani berbicara tentang berbagai isu sensitif jabatannya sebagai bupati dan menjadikannya lelucon tanpa rasa kuatir terhadap citra dan kewibawaannya dalam jabatan itu. Kemustahilan yang jadi mungkin karena dia tampaknya lebih serius memimpin daripada menjabat.
Apa yang membuat Sehan bisa begitu enteng menjinjing jabatannya? Karena dia lebih serius memikul kepemimpinannya. Kelebihannya untuk memisahkan jabatan dengan kepemimpinan lahir dari bakat alamiahnya untuk tahu diri. Sehan, lebih dari kebanyakan kita, tahu benar siapa dirinya. Karena itu dia tahu kapasitasnya sendiri. Apa yang menjadi kelebihan dan apa yang menjadi kekurangannya. Makanya, dengan cukup cerdas, Sehan selalu tampil menonjolkan kelebihannya sambil menutupi kekurangannya.
Itulah kenapa Sehan bisa santai ngobrol dengan wartawan. Dan seperti terhadap kebanyakan elemen rakyat di kawasan Bolmong lainnya, Sehan mendatangi mereka bukan menunggu didatangi mereka. Model kepemimpinan Sehan adalah model yang membuat pekerjaan kehumasan menjadi hanya sebagai pajangan jika mereka tidak mampu keluar dari kerangka kerja jabatan. Ketika Sehan mencabik batas antara jabatan bupati dengan elemen terendah dari masyarakat banyak dia menampilkan sisi terbaiknya sebagai seorang pemimpin. Humas yang reseh dengan tetek bengek protokol jabatan pasti akan selalu kehilangan momentum untuk memilah citra besar sang bupati menjadi serpihan-serpihan keakraban dengan rakyat yang dia pimpin.
Barangkali kepemimpinan bukan hanya persoalan menjadi akrab dengan banyak kalangan. Bukan juga persoalan memanusiakan jabatan. Dan juga bukan persoalan memilah dan memilih kelebihan diri individual. Tapi jika memang kepemimpinan memiliki makna yang lebih dari itu, Sehan tampaknya masih terus bergerak ke arah itu. Sebuah cerita dari masa kampanye pilkada Boltim yang dia menangkan barangkali bisa memberi petunjuk kenapa kita boleh yakin bahwa Sehan selalu berada pada relnya sebagai pemimpin. Ketika ditanya apakah dia tidak kuatir akan kalah dari para kandidat lain, Sehan menjawab dengan enteng, “saya tidak kuatir kalah karena kalah sudah ada ditangan saya.” Artinya, jika Anda ingin menjadi pejabat, Anda harus berupaya menggenggam kemenangan. Tapi jika Anda telah ditakdirkan untuk memimpin, maka kekalahan akan berada di dalam genggaman Anda.
Wajah Keempat: Seorang Manusia
Siapapun Anda, politisi, motivator, atau pemimpin, Anda belum akan utuh sebagai seseorang tanpa memiliki wajah lemah Anda sebagai manusia. Namun karena itu adalah wajah terlemah Anda, memiliki wajah seorang manusia nyaris merupakan beban yang selalu ingin Anda dihindari. Pada Sehan, wajah lemah sebagai manusia justru hadir sebagai wajah yang paling menarik dari dirinya sebagai persona. Dalam wajahnya sebagai manusia, Sehan menjadi seseorang yang, saat ini, hanya mampu kita tangkap dengan mata yang tidak dihalangi oleh jabatannya sebagai bupati, kelebihannya sebagai pemimpin, kelihaiannya sebagai politisi atau kecerewetannya sebagai motivator.
Wajah Sehan sebagai manusia tampil dalam trivialitas yang sering kita abaikan kala bersama dirinya. Ketika Sehan berdiri dengan kakinya yang membulat dan membetulkan celananya, ketika dia menyapu kumisnya, ketika dia memijat rokoknya. Siapa yang memperhatikan ke mana arah tatapan Sehan ketika da meletakkan cangkir kopinya? Siapa yang memperhatikan bahwa Sehan memiliki tiga model senyuman dan hanya satu yang dikeluarkan dari wajahnya sebagai manusia? Ini mungkin adalah trivialitas tertafsir dari keberadaan seorang individu bagi orang lain, kala mana setiap orang boleh menemukan tafsirannya sendiri. Tapi apa yang menarik dari trivialitas Sehan adalah itu yang justru mengumumkan kelebihan dalam ketiga wajahnya yang lain.
Pertama, wajah manusia Sehan Landjar dalam aktivitas politiknya adalah wajah berkumis manakala tersenyum dengan kelicikan Machiavellian (yang tidak harus selalu diartikan negatif karena itu juga bisa berarti kecerdasan yang menggetarkan; ingat saja senyum di bawah kumis tebal kamerad Stalin). Kedua, wajah manusia Sehan Landjar dalam peran motivatornya adalah wajah berkacamata minus manakala menyapukan pandang pada para pendengarnya dengan semangat Carnegian (untuk menyebut nama salah seorang motivator tingkat dunia, Dale Carnegie). Ketiga, wajah manusia Sehan Landjar dalam aksi kepemimpinannya adalah wajah seorang lelaki Arab-Mongondow yang suntuk oleh kenyataan bahwa “kita masih berada di sini ketika dunia telah bergerak maju” namun lintang pukang oleh kenyataan bahwa dia masih harus bersama mereka.
Wajah manusia, pada Sehan, seakan terjebak dalam permainan antara yang-simbolis, yang-real dan yang-imajiner dalam psikologi Lacanian dan menjumbuhkan ketiganya sekaligus dalam permainan “ego” di hadapan cermin kehadiran yang-lain, entah besar atau kecil. Dalam skema ini, wajah manusia Sehan hadir bukan tanpa peran tapi justru dalam peran persona yang mengutuhkan ketiga wajah lainnya. Artinya, dengan wajah manusianya, kehadiran Sehan sebagai politisi, motivator dan pemimpin terangkum sebagai “ego” yang merayakan perjalanannya kembali pada “id” dengan segala konsekuensinya. Sehan, pada akhirnya, adalah seseorang (dan hanya seseorang) yang berkata, “saya adalah manusia dan saya bangga sebagai manusia.”
Kenapa?
Masih meminjam terma-terma psikologi Lacan, kita bisa melihat bahwa keriangan Sehan manakala berada bersama masyarakat dalam berbagai tingkatannya ternyata tidak berasal peran-perannya semata tapi, utamanya, berasal dari kebutuhan “ego-ke-id” untuk menemukan jouissance. Di balik ketiga peran besar yang seakan telah dipakukan ke dalam kepribadiannya, Sehan adalah seorang manusia yang “takut pada sepi.” Uniknya, dia tidak berupaya untuk melenyapkan ketakutannya tetapi berusaha merangkumnya bersama yang-lain (dalam arti ini yang-lain tidak hanya berarti orang lain tapi juga segala “lain” termasuk “the Big Other” alias “Yang-Lain Besar” dalam teori Lacan).
Ketakutan Sehan pada sepi adalah eksistensialitas manusiawinya yang selalu dia gumulkan dengan kehadiran segala sesuatunya dalam dunia eksternalnya. Dia mempertaruhkan gagasan dan perjuangannya dalam medan politik demi menemukan keriuhan ambisi dan merayakan ketegangan-ketegangannya. Dia menghabiskan lebih dari dua per tiga daya hidupnya dalam pembicaraan yang memukau banyak orang untuk membagi ketakutannya pada sepi dengan setiap teman bicaranya. Namun dalam dunia internalnya, Sehan juga menggumuli ketakutannya dan menerima rasa sepinya dengan kepasrahan yang nyaris mengerikan. Dia mencatat mimpi-mimpinya justru dalam kesepian itu.
Banyak orang yang bilang bahwa Sehan bisa sakit atau bahkan mati jika disuruh diam. Padahal, bukan diam yang akan membunuh Sehan sebagai manusia tapi ketiadaan yang-lain. Karena dalam ketiadaan itu, Sehan akan dilumat oleh mimpi-mimpinya sendiri. Mimpi-mimpinya sebagai manusia yang membuatnya mampu bergerak dan berjuang dalam tindakan dan perbincangan yang menghadirkan dirinya dengan kelebihan yang jarang kita temui pada figur-figur yang lain, baik politisi, motivator atau pemimpin. Itulah juga kenapa Sehan unik bukan hanya dalam perbandingannya dengan orang lain tapi juga dibandingkan dengan saudara-saudara kandungnya sendiri.
Sebagai penutup untuk bahasan ini, penulis ingin mengajukan pertanyaan trivial. Kenapa kita tidak menemukan bahkan secuil kekuatan Sehan sebagai politisi pada abangnya Muhammad yang juga tengah berjuang dalam politik, kecuali dua penggal nama akhir, Salim Landjar? Penulis tidak ingin mengatakan bahwa Ami Mato, panggilan penulis kepada Muhammad Salim Landjar, tidak memiliki kemampuan apa-apa, tapi beliau jelas bukan Sehan.
 sumber  :  http://sehansalimlandjar.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar