Sabtu, 06 April 2013

SEJARAH SINGKAT BOLMONG

Penduduk asli Bolaang Mongondow berasal dari keturunan Gumalangit dan Tendeduata serta
Tumotoibokol dan Tumotoibokat, awalnya mereka tinggal di gunung Komasaan (Bintauna). Kemudian
menyebar ke timur di tudu in Lombagin, Buntalo, Pondoli', Ginolantungan sampai ke pedalaman tudu
in Passi, tudu in Lolayan, tudu in Sia', tudu in Bumbungon, Mahag, Siniow dan lain-lain. Peristiwa
perpindahan ini terjadi sekitar abad 8 dan 9.
Nama Bolaang berasal dari kata "bolango" atau "balangon" yang berarti laut. Bolaang atau
golaang dapat pula berarti menjadi terang atau terbuka dan tidak gelap, sedangkan Mongondow dari
kata ‘momondow’ yang berarti berseru tanda kemenangan.
Desa Bolaang terletak di tepi pantai utara yang pada abad 17 sampai akhir abad 19 menjadi
tempat kedudukan istana raja, sedangkan desa Mongondow terletak sekitar 2 km selatan Kotamobagu.
Daerah pedalaman sering disebut dengan ‘rata Mongondow’. Dengan bersatunya seluruh
kelompok masyarakat yang tersebar, baik yang yang berdiam di pesisir pantai maupun yang berada di
pedalaman Mongondow di bawah pemerintahan Raja Tadohe, maka daerah ini dinamakan Bolaang
Mongondow.
Setiap kelompok keluarga dari satu keturunan dipimpin oleh seorang Bogani (laki-laki atau
perempuan) yang dipilih dari anggota kelompok dengan persyaratan : memiliki kemampuan fisik
(kuat), berani, bijaksana, cerdas, serta mempunyai tanggung jawab terhadap kesejahteraan kelompok
dan keselamatan dari gangguan musuh.
Mokodoludut adalah punu’ Molantud yang diangkat berdasarkan kesepakatan seluruh bogani.
Mokodoludut tercatat sebagai raja (datu yang pertama). Sejak Tompunu’on pertama sampai ketujuh,
keadaan masyarakat semakin maju dengan adanya pengaruh luar (bangsa asing). Perubahan total
mulai terlihat sejak Tadohe menjadi Tompunu’on, akibat pengaruh pedagang Belanda dirubah istilah
Tompunu’on menjadi Datu (Raja).
Tadohe dikenal seorang Datu yang cakap, sistem bercocok tanam diatur dengan mulai
dikenalnya padi, jagung dan kelapa yang dibawa bangsa Spanyol pada masa pemerintahan Mokoagow
(ayah Tadohe). Tadohe melakukan penggolongan dalam masyarakat, yaitu pemerintahan
(Kinalang) dan rakyat (Paloko’). Paloko’ harus patuh dan menunjang tugas Kinalang, sedangkan
Kinalang mengangkat tingkat penghidupan Paloko’ melalui pembangunan disegala bidang, sedangkan
kepala desa dipilih oleh rakyat.
Tadohe berhasil mempersatukan seluruh rakyat yang hidup berkelompok dengan boganinya
masing-masing, dan dibentuk sistem pemerintahan baru. Seluruh kelompok keluarga dari Bolaang,
Mongondow (Passi dan Lolayan), Kotabunan, Dumoga, disatukan menjadi Bolaang Mongondow. Di
masa ini mulai dikenal mata uang real, doit, sebagai alat perdagangan.
Pada zaman pemerintahan raja Corenelius Manoppo, raja ke-16 (1832), agama Islam masuk
daerah Bolaang Mongondow melalui Gorontalo yang dibawa oleh Syarif Aloewi yang kawin dengan
putri raja tahun 1866. Karena keluarga raja memeluk agama Islam, maka agama itu dianggap sebagai
agama raja, sehingga sebagian besar penduduk memeluk agama Islam dan turut mempengaruhi
perkembangan kebudayaan dalam beberapa segi kehidupan masyarakat. Sekitar tahun 1867 seluruh
penduduk Bolaang Mongondow sudah menjadi satu dalam bahasa, adat dan kebiasaan yang sama
(menurut N.P Wilken dan J.A.Schwarz).
Pada tanggal 1 Januari 1901, Belanda dibawa pimpinan Controleur Anton Cornelius Veenhuizen
bersama pasukannya secara paksa bahkan kekerasan berusaha masuk Bolaang Mongondow
melalui Minahasa, setelah usaha mereka melalui laut tidak berhasil dan ini terjadi pada masa pemerintahan Raja Riedel Manuel Manoppo dengan kedudukan istana raja di desa Bolaang. Raja Riedel
Manuel Manoppo tidak mau menerima campur tangan pemerintahan oleh Belanda, maka Belanda
melantik Datu Cornelis Manoppo menjadi raja dan mendirikan komalig (istana raja) di Kotobangon
pada tahun 1901. Pada tahun 1904, dilakukan perhitungan penduduk Bolaang Mongondow dan berjumlah
41.417 jiwa.
Pada tahun 1906, melalui kerja sama dan kesepakatan dengan raja Bolaang Mongondow, W.
Dunnebier mengusahakan pembukaan Sekolah Rakyat dengan tiga kelas yang dikelola oleh zending
di beberapa desa; yakni : desa Nanasi, Nonapan, Mariri Lama, Kotobangon, Moyag, Pontodon, Pasi,
Popo Mongondow, Otam, Motoboi Besar, Kopandakan, Poyowa Kecil dan Pobundayan dengan total
murid sebanyak 1.605 orang, sedangkan pengajarnya didatangkan dari Minahasa.
Pada tahun 1937 dibuka di Kotamobagu sebuah sekolah Gubernemen, yaitu Vervolg School
(sekolah sambungan) kelas 4 dan 5 yang menampung lepasan sekolah rakyat 3 tahun.
Ibukota Bolaang Mongondow sebelumnya terletak disalah satu tempat di kaki gunung Sia’ dekat
Popo Mongondow dengan nama Kotabaru. Karena tempat itu kurang strategis sebagai tempat
kedudukan controleur, maka diusahakan pemindahan ke Kotamobagu dan peresmiannya diadakan
pada bulan April 1911 oleh Controleur F. Junius yang bertugas tahun 1910-1915.
Pada tahun 1911 didirikan sebuah rumah sakit di ibukota yang baru Kotamobagu. Rakyat mulai
mengenal pengobatan modern, namun ada juga yang masih mempertahankan dan melestarikan pengobatan
tradisional melalui tumbuh-tumbuhan yang berkhasiat obat dan sampai sekarang dibudayakan
secara konvensional.
Sejak semula, masyarakat Bolaang Mongondow mengenal tiga macam cara kehidupan bergotong
royong yang masih terpelihara dan dilestarikan terus sampai sekarang ini, yaitu : Pogogutat
(potolu adi’), Tonggolipu’, Posad (mokidulu). Tujuan kehidupan bergotong royong ini sama, namun
cara pelaksanaaannya agak berbeda.
Penduduk pedalaman yang memerlukan garam atau hasil hutan, akan meninggalkan desanya
masuk hutan mencari damar atau ke pesisir pantai memasak garam (modapug) dan mencari ikan.
Dalam mencari rezeki itu, sering mereka tinggal agak lama di pesisir, maka disamping masak garam
mereka juga membuka kebun. Tanah yang mereka tempati itulah yang disebut Totabuan yang dapat
diartikan sebagai tempat mencari nafkah.
Bila ada tamu yang bertandang pada masa kerajaan, biasanya disuguhi sirih pinang, tamu pria
atau wanita terutama orang tua. Sirih pinang diletakkan dalam kabela' (dari kebiasaan ini diciptakan
tari kabela sebagai tari penjemput tamu). Tamu terhormat terutama pejabat di jemput dengan
upacara adat. Tarian Kabela sampai saat ini tetap lestari di bumi Totabuan.
Tarian yang ada di Bolaang Mongondow cukup beragam diantaranya tarian tradisional yang
terdiri dari Tari Tayo, Tari Joke', Tari Mosau, Tari Rongko atau Tari Ragai, Tari Tuitan; juga tarian
kreasi baru seperti Tari Kabela, Tari Kalibombang, Tari Pomamaan, Tari Monugal, Tari Mokoyut, Tari
Kikoyog dan Tari Mokosambe.
Upacara monibi terakhir diadakan pada tahun 1939 di desa Kotobangon (tempat kedudukan
istana raja) dan di desa Matali (tempat pemakaman raja dan keturunannya).
Transmigran ke Bolaang Mongondow pertama kali datang pada tahun 1963 dengan jumlah
1.549 jiwa (349 KK) & ditempatkan di Desa Werdhi Agung. Para transmigran berikutnya ditempatkan
di desa Kembang Mertha (1964), Mopuya (1972/1975), Mopugad (1973/1975), Tumokang
(1971/1972), Sangkub (1981/1982), Onggunai (1983/1984), Torosik (1983/1984) dan Pusian/Serasi
(1992/1993). lengkap
Setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, Bolaang Mongondow menjadi bagian wilayah Propinsi
Sulawesi yang berpusat di Makassar, kemudian tahun 1953 berdasarkan Peraturan Pemerintah No.
11 Tahun 1953 Sulawesi Utara dijadikan sebagai daerah otonom tingkat I. Bolaang Mongondow
dipisahkan menjadi daerah otonom tingkat II mulai tanggal 23 Maret 1954, sejak saat itu Bolaang
mongondow resmi menjadi daerah otonom yang berhak mengatur rumah tangganya sendiri
berdasarkan PP No.24 Tahun 1954. Atas dasar itulah, mengapa setiap tanggal 23 Maret seluruh
rakyat Bolaang Mongondow selalu merayakannya sebagai HUT Kabupaten Bolaang Mongondow.
Seiring dengan Nuansa Reformasi dan Otonomi Daerah, telah dilakukan pemekaran wilayah
dengan terbentuknya Kabupaten Bolaang Mongondow Utara melalui Undang-Undang RI No. 10 Tahun
2007 dan Kota Kotamobagu melalui Undang-Undang RI No. 4 Tahun 2007 sebagai hasil pemekaran
dari Kabupaten Bolaang Mongondow.
Tujuan utama pembentukan Kab. Bolmong Utara dan Kota Kotamobagu adalah untuk
memajukan daerah, membangun kesejahteraan rakyat, memudahkan pelayanan, dan memobilisasi
pembangunan bagi terciptanya kesejahteraan serta kemakmuran rakyat totabuan.
 
sumber www.bolmong.go.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar