Pragmatik dalam Studi Linguistik
Seperti
diungkapkan juga oleh Kridalaksana (2007:3) bahwa bahasa ialah sistem
tanda bunyi yang disepakati untuk dipergunakan oleh para anggota
kelompok masyarakat tertentu dalam bekerjasama, berkomunikasi, dan
mengidentifikasi diri. Dari pengertian tersebut dapat dijabarkan bahwa
bahasa merupakan suatu sistem yang sistematis, artinya bahasa dapat
diuraikan atas satuan-satuan terbatas yang terkombinasi dengan
kaidah-kaidah yang dapat diramalkan. Di samping itu, bahasa juga
sistemis yang bukan hanya merupakan sistem tunggal, melainkan terdiri
atas beberapa subsistem, yakni subsistem fonologi, gramatika, dan
leksikon. Di dalam subsistem tersebut dunia bunyi dan dunia makna
bertemu, sehingga membentuk struktur yang di dalamnya terdapat konteks.
Konteks mempengaruhi keserasian sistem suatu bahasa. Seperti yang
diungkapkan Kushartanti dalam buku Pesona Bahasa Langkah Awal Memahami
Linguistik (2007:104) konteks merupakan unsur di luar bahasa, dikaji
dalam pragmatik.
Sebagai
tataran terbaru dalam linguistik, pragmatik merupakan tataran yang
turut memperhitungkan manusia sebagai pengguna bahasa. Wijaya (1996:1)
menyebutkan, berbeda dengan fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik
yang mempelajari struktur bahasa secara internal, pragmatik adalah
cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal,
yakni bagaimana satuan kebahasaan itu digunakan dalam komunikasi. Morris
(Rustono 1999:1) sebagai pencetus pertama bidang kajian ini
mengungkapkan bahwa pragmatik adalah cabang semiotik yang mempelajari
relasi tanda dan penafsirannya.
Di
dalam analisis linguistik struktural, pembahasannya menekankan pada
struktur, atau bentuk formal bahasa. Suatu kalimat dianalisis dengan
mengamati yang mana subyek dan predikat dalam kalimat tersebut. Bagian
yang berupa subyek dapat dipilah-pilah lagi menjadi bagian-bagian yang
lebih kecil, demikian juga dengan predikatnya. Dan bagian-bagian
tersebut masih dapat dipilah lebih lanjut dan diteruskan sampai ke
bagian yang paling kecil seperti klausa, frasa, kata, morfem, bahkan
fonem. Dalam analisis tersebut, konteks pemakaian kalimat tidak ikut
diperhitungkan.
Contoh kalimat:
Bisa menutupkan pintu itu?
Dilihat
dari segi bentuknya, kalimat tersebut merupakan kalimat interogatif,
tetapi dari segi fungsinya kalimat tersebut tidak dimaksudkan untuk
menanyakan tentang kemampuan (bisa tidaknya) orang yang diajak bicara. Dari
segi fungsinya kalimat tersebut bermakna perintah (secara tidak
langsung). Makna yang sama dapat juga diutarakan dengan konstruksi
imperatif sehingga menjadi kalimat berikut ini.
Tutup pintu itu!
Tentu
saja konteksnya menjadi lain pula. Dengan mengamati bentuk suatu
perintah menggunakan konstruksi imperatif dan kapan perintah itu
menggunakan konstruksi interogatif, maka akan terlihat perbedaan yang
berhubungan dengan siapa dan kepada siapa kalimat tersebut diucapkan.
Konteks
menjadi patokan utama dalam analisis pragmatik, sehingga dalam analisis
pragmatik dibahas tentang hal-hal sebagai berikut:
1. Suatu satuan lingual dapat dipakai untuk mengungkapkan sejumlah fungsi di dalam komunikasi.
2. Suatu fungsi komunikatif tertentu dapat diungkapkan dengan sejumlah satuan lingual.
Salah
satu kecenderungan yang melatarbelakangi berkembangnya pragmatik adalah
antisintaksisme Lakoff dan Ross yang mengungkapkan bahwa keapikan
sintaksis (Wellformednes) bukanlah segalanya. Sebab seperti yang
sering kita jumpai komunikasi tetap berjalan dengan penggunaan bentuk
yang tidak baik secara sintaksis (ill-formed), bahkan semantik
(Gunarwan 2004: 6 dalam Quinz 2008). Dalam ranah sintaksis, seperti
dikemukakan oleh Yule (dalam Quinz 2008), dipelajari bagaimana hubungan
antarbentuk linguistis, bagaimana bentuk-bentuk tersebut dirangkai dalam
kalimat, dan bagaimana rangkaian tersebut dapat dinyatakan well-formed
secara gramatikal. Secara umum, sintaksis tidak mempersoalkan baik
makna yang ditunjuknya maupun pengguna bahasanya, sehingga bentuk
seperti kucing menyapu halaman, meskipun tidak dapat diverifikasi secara
empiris, tetap dapat dinyatakan apik secara sintaksis.
Dalam kehidupan sehari-hari, penggunaan bahasa tidak semata-mata didasarkan atas prinsip well-formed
dalam sintaksis, melainkan atas dasar kepentingan agar komunikasi tetap
dapat berjalan. Lebih tepatnya, bahasa digunakan oleh masyarakat tutur
sebagai cara para peserta interaksi saling memahami apa yang mereka
ujarkan. Atas dasar ini, pertama, dapat dipahami, dan memang sering
ditemukan, bahwa komunikasi tetap dapat berjalan meskipun menggunakan
bahasa yang tidak apik secara sintaksis. Kedua, demi kebutuhan para
anggota masyarakat tutur untuk mengorganisasi dan memahami kegiatan
mereka, selain tata bahasa, makna juga merupakan hal yang tidak dapat
diabaikan dalam analisis bahasa. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa
perbedaan utama antara sintaksis dan pragmatik, sekaligus menyatakan
pentingnya studi pragmatik dalam linguistik, terletak pada makna ujaran
dan pada pengguna bahasa.
Makna dalam Semantik dan Pragmatik
Semantik membahas tentang makna ujaran yang dituturkan. Berdasarkan truth conditional semantics,
untuk dapat dinyatakan benar, sebuah pernyataan harus dapat
diverifikasi secara empiris atau harus bersifat analitis. Dengan
demikian, bentuk kucing menyapu halaman adalah bentuk yang tidak
berterima secara semantis, karena tidak dapat diverifikasi secara
empiris dan bukan termasuk pernyataan logika. Namun demikian, pembahasan
makna dalam semantik belum memadai, karena masih mengabaikan unsur
pengguna bahasa. Dengan kata lain, untuk menjelaskan fenomena pemakaian
bahasa sehari-hari, di samping sintaksis dan semantik, dibutuhkan juga
pragmatik yang mengkaji hubungan antara struktur yang digunakan penutur,
makna apa yang dituturkan, dan maksud dari tuturan. Kegunaan pragmatik
yang tidak terdapat dalam sintaksis dan semantik, dalam hal ini
ditunjukkan, misalnya bagaimana strategi kesantunan mempengaruhi
penggunaan bahasa, bagaimana memahami implikatur percakapan, dan
bagaimana kondisi yang memungkinkan bagi sebuah tindak-tutur.
Selanjutnya,
untuk melihat kedudukan pragmatik dalam linguistik, bisa dilihat dari
perbedaan antara semantik dan pragmatik. Pertama, semantik mengkaji
makna (sense) kalimat yang bersifat abstrak dan logis, sedangkan pragmatik mengkaji hubungan antara makna ujaran dan daya (force) pragmatiknya; dan kedua, semantik terikat pada kaidah (rule-governed), sedangkan pragmatik terikat pada prinsip (principle-governed).
Dengan kata lain, semantik mengkaji makna ujaran yang dituturkan,
sedangkan pragmatik mengkaji makna ujaran yang terkomunikasikan atau
dikomunikasikan. Selanjutnya, kaidah berbeda dengan prinsip berdasarkan
sifatnya. Kaidah bersifat deskriptif, absolut atau bersifat mutlak, dan
memiliki batasan yang jelas dengan kaidah lainnya, sedangkan prinsip
bersifat normatif atau dapat diaplikasikan secara relatif, dapat
bertentangan dengan prinsip lain, dan memiliki batasan yang
bersinggungan dengan prinsip lain.
Secara
umum, dapat disimpulkan bahwa kaitan antara pragmatik dan pengajaran
bahasa adalah dalam hal kompetensi komunikatif yang mencakup tiga macam
kompetensi lain selain kompetensi gramatikal (grammatical competence), yaitu kompetensi sosiolinguistik (sociolinguistic competence) yang berkaitan dengan pengetahuan sosial budaya bahasa tertentu, kompetensi wacana (discourse competence) yang berkaitan dengan kemampuan untuk menuangkan gagasan secara baik, dan kompetensi strategik (strategic competence) yang berkaitan dengan kemampuan pengungkapan gagasan melalui beragam gaya yang berlaku khusus dalam setiap bahasa.
Daftar Pustaka
Kushartanti. 2007. Pesona Bahasa Langkah Awal Memahami Linguistik. Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama
Quinz. Pragmatik Sebuah Kajian Awal. Gaudi1529.blogspot.com/2008/05 /pragmatik-sebuah-kajian-awal.html(accessed03/11/09)
Rustono. 1999. Pokok- Pokok Pragmatik. Semarang: CV IKIP Semarang Press
Wijaya, Dewa Putu. 1996. Dasar-Dasar Pragmatik. Yogyakarta: Penerbit Andi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar